Selasa, 04 Januari 2011

KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN (BULLYING)

KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN
(BULLYING)
Makalah ini di buat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Perkembangan
Dosen pengampu: Moch. Qowim, M.Pd




Disusun oleh:
Siti Mujayanah (09410013)
Aida Firti Yana (09410277)
Nur Hidayatin Kh (09410278)
Khanifudin (09410039)





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010





BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pendidikan dapat berjalan secara lancar, apabila siswa dan guru tidak mengalami tekanan serius yang dapat menghambat terjadinya proses belajar pada siswa dan tugas mengajar pada guru. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar yang dikelompokkan ke dalam faktor eksternal dan faktor internal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa adalah kejahatan dan kekerasan yang dapat menimpa pada siswa. Kekerasan yang terjadi antara siswa dengan siswa dilakukan oleh siswa lain yang disebabkan karena yang satu merasa superior dibandingkan yang lain sehingga berani untuk melakukan kekerasan (bullying).
Kekerasan juga bisa terjadi disebabkan karena seseorang pernah diperlakukan secara kasar oleh orang lain lagi, sehingga ia melakukan tindakan serupa dengan cara “balas dendam” atau sebagai kompensasi. Kekerasan ini mungkin akan berupa kekerasan fisik, seperti: dorongan, sodokan, tamparan, lemparan, cekikan, pukulan keras, tendangan, pukulan, tusukan, jambakan, cakaran, gigitan, goresan dan cubitan; atau berupa kekerasan yang lebih halus berupa ejekan, hinaan, ancaman, gossip yang salah, bohong, rumor, atau sejenisnya.
Dilihat dari kacamata waktu dan strata kehidupan, pendidikan mengandung nuansa kebertingkatan. Disatu pihak, karena merupakan sebuah proses maka pendidikan memuat pentahapan. Dilain pihak, karena ada pendidik dan ada peserta didik, maka pendidikan mengenal perbedaan status. Karena kenyataan, pendidikan amat rentan terhadap kekerasan. Oleh karenanya bagaimana pentahapan waktu dan perbedaan strata kestatusan itu harus dikelola, sehingga pendidikan mampu menjadi sarana pemberdayaan, pengayaan dan tidak melindas nilai-nilai kemanusiaan, seperti kemerdekaan, hormat pada pribadi dan keadilan. 1
Untuk terhindar dari munculnya korban karena bullying, ada baiknya apabila kalangan pendidikan memberikan perhatian serius terhadap tindakan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah.


B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latarbelakang diatas rumusan masalah yang akan dikaji adalah
1. Apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam pendidikan?
2. Dampak apa saja yang mempengaruhi kekerasan dalam pendidikan?
3. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencega kekerasan dalam pendidikan?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam pendidikan.
2. Untuk mengetahui dampak yang mempengaruhi kekerasan dalam pendidikan.
3. Untuk mengetahui upaya mencega kekerasan dalam pendidikan.

D. METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah pengumpulan data dari berbagai sumber buku dan informasi yang disertai analisis data guna untuk mendapatkan data yang actual dan valid. Setelah menganalisis semua sumber data penulis menuangkan atau menguraikan data tersebut secara terperinci.




BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN (BULLYING)
Bentuk penindasan yang dilakukan pada anak atau pada orang lain dinamakan bullying. Bullying adalah suatu tindakan menggunakan tenaga dan kekuatan untuk melukai orang lain atau kelompok orang naik secara verbal, fisik, ataupun secara psikologis, dan menyebabkan korbannya merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya. Seorang aktivis anti bullying Diena Haryana, menjelaskan, “segala perilaku yang dilakukan kepada orang lain baik secara verbal, fisik, atau mental yang dilakukan dengan berulang-berulang dengan menggunakan power (kekuatan) untuk menunjukkan saya berkuasa, saya lebih hebat sudah membawa dampak pada rasa takut, tertindas, terintimidasi, itu bullying, tapi kalau ledek-ledekan tidak berdampak apa-apa itu bukan bullying”.
Bullying ditandai dengan prilaku laku seseorang dalam cara-cara tertentu untuk mendapatkan kekuatan atas orang lain. Prilaku itu itu termasuk memanggil nama dengan panggilan yang kurang baik, dengan ucapan atau dengan caci-makian tertulis, dikeluarkan dari aktivitas kelompoknya, dikeluarkan dari lingkungan sosial, kekerasan fisik, atau pemaksaan. Pelaku kekerasan bertindak seperti ini dengan tujuan agar dia menjadi popular atau menarik perhatian orang. Dia melakukan ini bisa juga disebabkan karena suatu kecemburuan atau bertindak seperti ini karena ia pernah diperlakukan sebagai target dalam suatu bullying.
Kekerasan sudah mengakrabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Penyelesaian konflik selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan yang kerap terjadi bukan hanya dilakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat tetapi juga oleh aparat Negara. Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa; kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen. Ketiga tipologi kekerasan ini memasuki waktu secara berbeda, analog dengan perbedaan dalam teori gempa bumi antara gempa bumi sebagai suatu peristiwa (kekerasan langsung), gerakan-gerakan lempeng tektonik sebagai sebuah proses (kekerasan struktural), dan garis-garis retakan sebagai suatu kondisi yang permanen (kekerasan kultural).2
Kondisi ini mengarah ke suatu citra strata kekerasan fenomenologi kekerasan. Kekerasan kultural merupakan strata yang paling dasar dan merupakan sumber inspirasi bagi kekerasan struktural dan kekerasan langsung. Strata berikutnya kekerasan struktural berupa ritme-ritme kekerasan yang melokal dan merupakan pola-pola dari kekerasan kultural. Puncaknya, kekerasan yang tampak oleh mata berupa kekerasan langsung yang dilakukan oleh manusia terhadap yang lain.
Kekerasan langsung mewujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan struktur atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat misalnya, kebencian, ketakutan, rasisme, seksisme, ketidaktoleranan.3 Menurut sifatnya kekerasan ada 2 (dua) yaitu kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Kekerasan struktural mengambil bentuk-bentuk seperti eksploitasi, fragmentasi masyarakat, rusaknya solidaritas, penetrasi kekuatan luar yang menghilangkan otonomi masyarakat, dan marjinalisasi masyarakat sehingga meniadakan partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Kekerasan struktural ini juga menimbulkan kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, ketidakadilan sosial, dan alienasi atau peniadaan individual karena proses penyeragaman warga Negara.4
Namun demikian masih ada yang terlupakan adanya keterkaitan antara aktivitas keseharian di sekolah, misalkan sering diejek, disiksa atau ditindas oleh teman teman sekolahnya. Hal ini bisa terjadi dalam arti fisik maupun non fisik. Pelecehan dapat berbentuk verbal, fisik, atau emosi. Kadang-kadang kekerasan ini dilakukan oleh orang yang ukurannya badannya lebih besar atau lebih kecil dari pada target (sasaran bullying). Banyak alasan mengapa kekerasan ini terjadi. Umumnya pelaku pernah menjadi korban kekerasan. Misalkan anak yang melakukan kekerasan di sekolah dia pernah menjadi korban kekerasan di rumahnya. Atau kekerasan orang tua kepada anaknya disebabkan karena orang tua tadi menjadi korban kekerasan di tempat kerjanya.

B. DAMPAK KEKERASAN

Akibat dari kekerasan dapat menjadi serius dan bahkan menyebabkan fatal (kematian). Korban kekerasan (bullying) dapat menderita gangguan tingkah laku dan gangguan emosional bahkan korban kekerasan akan beresiko stress, sakit, dan kadang-kadang sampai bunuh diri. Bullying dapat pula menyebabkan kesepian, depresi, cemas dan mengarah ke rendahnya self-esteem, dan meningkatnya sifat mudah tersinggung, akibatnya gampang sakit. Lembaga rahasia di USA, menyatakan bahwa bullying berperan sangat signifikans dalam penembakan di sekolah dan upaya-upaya harus segera dibuat untuk mengeliminir tindakan bullying.
Tindak-tindak kekerasan tersebut juga disebabkan oleh factor-faktor berikut : pertama, kurikulum pendidikan yang cukup padat dan sarat beban, menyebabkan anak harus belajar berbagai hal dalam waktu yang ditentukan. Kurikulum yang ada sangat memaksa anak untuk mengikuti dan mengejar pencapaian kurikulum, walaupun apa yang diinginkan kurikulum belum tentu relevan dengan cita-cita anak. Kedua, pengajar saat ini sangat sarat dengan persoalan. Pengajar sebagai pemegang kunci (key person), dalam kenyataannya tidak layak mengajar dan mendidik di sekolah. Intelektualitas pendidik yang rendah namun dipaksa mengejar target kurikulum.5
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa yang melakukan kekerasan memiliki kepribadian otoriter dan berkemauan keras untuk mengontrol atau mendominasi orang lain. Hal ini menyarankan bahwa suatu prasangka dapat menjadi faktor resiko. Studi lebih lanjut memperlihatkan bahwa cemburu (iri hati) dan kekesalan (kejengkelan) mendorong untuk melakukan tindak kekerasan (bullying), hanya sedikit sekali yang menyarankan bahwa bullies menderita self-esteem yang rendah. Namun bullying dapat digunakan sebagi alat untuk menyembunyikan rasa malu atau kecemasan atau untuk menyembunyikan (conceal), untuk meningkatkan self-esteem dengan cara merendahkan martabat orang lain, atau dengan cara mencaci-maki orang lain supaya ia merasa berdaya.
Para peneliti telah mengidentifikasi bahwa faktor-faktor resiko dari bullying seperti cepat marah, menggunakan kekuasan, ketagihan untuk bertingkah laku agresif, menyalahkan tindakan orang lain sebagai suatu yang tak ramah, peduli dengan keutuhan citra diri, dan tertarik dengan godaan atau tindakan yang dingin. Sering disarankan bahwa tingkah laku bullying memiliki keaslian sejak masa kanak-kanak: "Jika tingkah laku agresif tidak tertantang di masa anak-anak, diperkirakan cukup berbahaya mungkin akan menjadi kebiasaan. Sungguh terdapat bukti dalam penelitian yang mengatakan bahwa bullying sejak masa akan-anak beresiko akan berprilaku kriminal dan menjadi kejam domestik pada masa dewasa nantinya. Bullying tidak perlu harus melibatkan kriminalitas atau kejahatan fisik. Misalkan bullying sering beroperasi melalui kekerasan psikologis dan kekerasan verbal. Bullying juga dapat berasosiasi dengan gang jalanan khususnya di sekolah. 6
Contoh ketika ada siswi SMP yang mengakhiri hidupnya dengan menggunakan seutas tali, kala itu tidak ada yang tahu kenapa ia mengambil tindakan yang nekad dan tidak masuk akal. Nampaknya ada satu titik terang sebuah petunjuk dari orangtuanya yang mengatakan bahwa puterinya merasa malu karena sering diejek teman temannya sebagai anak tukang bubur. Ini suatu pertanda bahwa dia merupakan korban dari bullying dalam bentuk ejekan dan hinaan yang dilakukan secara terus menerus dari temannya dan ia tidak tahan dengan situasi ini.

C. UPAYA MENANGANI KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN

Ketika korban jiwa sudah berjatuhan, tentu kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap kesalahan-kesalahan berpikir seperti di atas. Orang-orang luar yang terkait baik langsung ataupun tidak langsung dengan bullying bisa melakukan banyak hal untuk mencegah bullying menjadi sesuatu yang mendarah daging dalam pendidikan kita. Misalkan langkah-langkahnya dapat dilakukan dengan lingkup yang paling dekat dengan pelaku dan korban bullying, yaitu teman-teman mereka sendiri. Benarkah mereka yang tidak ikut serta ini bebas dari kesalahan karena mereka ‟hanya‟ menonton? Hal ini tidak benar. Menurut Pepler dan Craig (2000), siswa-siswa lain yang tidak melakukan bullying bisa memiliki beberapa peran, yaitu peserta (co-bullies), pendukung, sebagai penonton biasa, dan dapat pula sebagai penolong (interveners).
Berikut adalah beberapa pengaruh teman-teman sebaya yang menonton terhadap aktivitas bullying.
1. Secara alamiah mereka tertarik dengan terjadinya tegang dan hasrat ingin menyerang yang ditimbulkan dari menonton aktivitas bullying. Adanya „permintaan pasar‟ ini akan mendorong pelaku untuk mem-bully lebih sering, intens, dan ganas.
2. Perhatian positif, keberpihakan, peniruan, rasa hormat, dan ketakutan untuk melawan yang terjadi pada penonton akan semakin memperkuat dominasi pelaku.
3. Memaksimalkan dampak sosial dari bullying terhadap korban melalui penonton yang tidak memberikan empati atau pertolongan, memberikan perhatian yang negatif, serta bersikap menyalahkan korban sebagai „pemicu‟ perlakuan bullying terhadapnya.
4. Siswa-siswa yang berpihak pada pelaku akan semakin agresif dan tidak sensitif terhadap penderitaan korban akibat perlakuan mereka. Mereka mengalami perlindungan (dari pelaku) dan status sosial yang lebih tinggi. Pada akhirnya akan terbentuk kelompok yang solid dan mampu melakukan aktivitas terencana.
5. Menegaskan adanya risiko bagi siswa-siswa yang berpihak pada korban: mereka bisa menjadi korban berikutnya. Tampaknya mempertontonkan kegiatan bullying di depan umum cukup berhasil mewujudkan pengaruh-pengaruh di atas. Dari data yang terhimpun (bullying.org), 80-90 persen siswa yang menonton merasa tidak nyaman menonton peristiwa bullying, bahkan sepertiga siswa mengaku akan ikut mem-bully siswa yang mereka juga tidak suka.
Hanya ada 11 persen siswa yang mencoba menghentikannya, dan lebih dari separuh peristiwa bullying berhasil mereka hentikan dalam kurang dari sepuluh detik. Untuk itu, disarankan oleh Bullying.org untuk memperhatikan tip-tip berikut ini:
Kenali perilaku bullying, Sebab bullying tidak hanya bersifat fisik, bullying juga dapat bersifat sosial atau verbal, seperti menjelek-jelekkan orang lain. Dengan tetap berada di situ dan menonton, anda menyemangati pelaku untuk terus melakukan aksinya. Menjauhlah dan cari pertolongan dari guru atau orangtua. Akan lebih baik jika anda bisa mengajak teman-teman lain untuk menjauh juga.
Jangan ikut mem-bully meski hanya secara verbal, seperti mengejek atau menyindir. Inilah yang diharapkan pelaku dari para penonton. Sebaliknya, dekatilah korban bullying. Dorong mereka untuk melaporkan kejadian ini pada orangtua atau guru dan temani mereka.
Bicarakan keberatan anda (dan pandangan anda bahwa bullying itu salah) jika anda diajak atau dipaksa untuk ikut serta dalam aktivitas bullying. Tolonglah korban, dan jangan sekali-sekali melawan pelaku bullying jika anda tidak yakin anda cukup aman untuk melakukannya.
Catatlah tempat-tempat yang sering dijadikan lokasi bullying. Beritahukan guru atau orangtua agar mereka mengawasi tempat-tempat ini.
Tips-tips lain yang berguna adalah
Bangun sebuah hubungan positif antara staf guru dan siswa dan buat interaksi guru-siswa yang positif.
Pantaulah untuk meyakinkan bahwa konsekwensi pendidikan berjalan efektif.
Konseling yang efektif untuk siswa yang melakukan bully dapat berakibat mengurangi kecemasan.
Dorongan yang efektif bagi korban (target) termasuk perlindungan terhadap korban terhadap bully yang berulang-ulang.
Memberdayakan saksi mata (bystanders) untuk menceritakan kepada orang dewasa, untuk mendukung korban, dan menghindari prilaku yang tidak bisa diterima.
Mungkin pada awalnya akan sulit bagi orangtua atau sekolah untuk menanamkan nilai-nilai tersebut pada anak-anak mereka, karena selama ini mereka telah terbiasa diam ketika melihat (atau mengalami) ketidak-adilan. Namun jika pihak-pihak yang berwenang mampu memberi sanksi dan penanganan yang tegas bagi pelaku, perlindungan bagi korban, dan penghargaan bagi pihak-pihak yang berani menolong, niscaya bullying akan tinggal menjadi masa lalu dalam pendidikan kita. Sehingga pendidikan dapat berjalan secara mulus, tanpa adanya tindak kekerasan yang menjadi faktor eksternal keberhasilan proses belajar mengajar di kelas khususnya dan sekolah pada umumnya.
Hasil sebuah studi di sekolah-sekolah Colorado, Amerika Serikat pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa:
Berkurangnya tindakan bullying di sekolah dimana guru dan siswa peduli dan berkemauan untuk mencegahnya, memperlihatkan bahwa mereka sangat menaruh perhatian akan tindakan kekerasan ini.
Campur tangan orang dewasa dan siswa dalam bullying adalah hal yang kritis dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama.
Hubungan yang positif antara orangtua dan siswa di sekolah dan budaya sekolah tentang kepercayaan dan keadilan adalah kunci-kunci untuk mengurangi kekerasan.
Sekolah yang tindak kekerasannya sangat rendah memperlihatkan hasil test (Sejenis UN, UASBN, atau EBTANAS) yang lebih tinggi lintas negara bagian.
Dengan bukti-bukti dan pengalaman dari Negara lain ini, mendorong kita sebagai komponen-komponen pendidikan untuk berupaya keras mencegah terjadinya tindak kekerasan yang ujung-ujungnya berakibat sangat buruk baik untuk sekolah ataupun untuk korban.




BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah kekerasan ini secara edukatif. Banyak program yang telah ditempuh untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam pendidikan di sekolah misalkan dengan mengundang pembicara.
Program Anti-bullying misalkan didesain untuk mengajarkan dan melatih cara-cara kerjasama antar siswa atau pelatihan untuk menjadi moderator sebaya dalam intervensi atau dalam teknik-teknk penyelesaian percekcokan, sebagai bentuk dukungan teman sebaya.
Para korban penembakan di Amerika misalkan menuntuk ke sekolah dan keluarga penembak mestinya menjadi perhatian yang cukup serius bagi dunia pendidikan bahwa ternyata tindakan bullying akan menjadi sejenis „bom waktu‟ yang suatu saat korban bullying akan sangat berbahaya bagi lingkungan sekolah.





DAFTAR PUSTAKA

Referensi:
Artikel tentang Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan" akses 26 des 2010
Syamsuarni, Hukuman di Sekolah dan Hak Anak atas Pendidikan, dalam Kalingga, Edisi Maret-April 2004, Medan, PKPA
Tabrani Yunis, Ramai-Ramai Menyiksa Anak di Sekolah, dalam KALINGGA, Edisi, Maret-April 2004, Medan, PKPA, 2004,
Francis Wahono, Kekerasan dalam Pendidikan : Sebuah Tinjauan Sosio-Ekonomi Didaktika, dalam Gelombang Perlawanan Rakyat : Kasus-Kasus Gerakan Sosial di Indonesia, Yogyakarta, Insist Press, 2003
Johan Galtung, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka, 2003, hal. 438
Simon Fisher, et.al, Mengelola Konflik : keterampilan & Strategi untuk Bertindak, Jakarta, The British Council, 2001. hal. 10
Justin Sihombing, Kekerasan terhadap Masyarakat Marjinal, Yogyakarta, Penerbit Narasi 2005